Indonesia Lawyers Club (ILC)
BENARKAH MK MELEGALKAN
ZINA DAN LGBT
BEREDAR
isu
– isu yang menuding bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan zina dan LGBT (Lesbian,
Gay, Biseksual dan Transgender), Mahkamah Kontitusi (MK) menolak uji materi terhadap
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai kejahatan terhadap kesusilaan. Tiga
pasal yang digugat adalah Pasal 284, Pasal 285, Pasal 292.
Pasal 284 tentang
perzinahan, yang konteksnya dalam ikatan pernikahan dimohonkan untuk diperluas
menjadi konteks di luar pernikahan. Pasal 285 tentang pemerkosaan, yang
konteksnya terbatas laki-laki terhadap perempuan, ingin diperluas menjadi
laki-laki terhadap laki-laki ataupun perempuan terhadap laki-laki. Pasal 292
tentang percabulan anak sesama jenis laki-laki dewasa terhadap yang belum
dewasa ingin dihilangkan batasan umurnya.
Mahkamah Kontitusi banyak
menuai respon dari berbagai kalangan, ada yang pro, karna MK dianggap tidak
diskiriminasi terhadap kaum LGBT, tetapi juga ada yang kontra, karna MK
dianggap gagal sebagai pelindung kontitusi.
Sehingga Indonesia Lawyer
Club mengadakan tayangan live untuk membahas tudingan yang diterima Mahkamah
Kontitusi mengenai putusan yang dikeluarkan MK, bertemakan tentang “Benarkah MK
Melegalkan Zina dan LGBT?” Pada episode 19 Desember 2017, pembawa acara ILC
yakni Karni ILyas mengatakan bahwa Mahkamah Kontitusi (MK) yang menolak
permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang mengatur
kejahatan terhadap kesusilaan bukan berarti menyetujui perbuatan zina dan LGBT.
Dari beberapa narasumber
yang hadir dapat dirangkum mengenai pendapat mereka terhadap persoalan
kejahatan asusila,
Menurut Prof. Euis Sunarti sebagai Pemohon Yudicial Review,
menyatakan bahwa perilaku penyimpangan seksual berada pada persentase 60%
- 70 % yang terjadi di lingkungan masyarakat, kasus ini telah melenceng dari
nilai keagamaan yang telah diajarkan dari orangtua bahkan sudah menjadi gaya
hidup. Maka permohonan uji materi ini diajuakan
dan tidak menunda-nunda RUU KUHP. Lalu Feizal Syahmenan sebagai Koordinator
tim pengacara pemohon, menyimpulkan bahwa keputusan MK terdapat kekosongan
hukum, Masyarakat menjadi salah paham mengenai kepentingan – kepentingan tertentu
dibalik pendapat para hakim.
Dewi
Inong Iriana sebagai Spesialis Kulit dan Kelamin juga mengutarakan bahwa perilaku
seksual LGBT beresiko paling tinggi tertular (Infeksi Menular Seksual) IMS.
Berdasarkan keadaan yang terjadi, penderita berusia kisaran 20-40 tahun dan laki-laki
lebih dominan, timbul persepsi dikalangan anak muda dimana seks sesama jenis
dianggap “aman” dibanding dengan lawan jenis. Melihat sandaran hukum, Ahmad
yani sebagai Praktisi hukum mengemukakan bahwa dalam Konstitusi jelas dinyatakan
bahwa nilai norma agama dapat dijadikan sandaran hukum. Sumber hukum di
Indonesia bersumber dari hukum islam disamping perdata barat dan hukum adat. Menanggapi
yang terjadi pada putusan Mahkamah Kontitusi, Mahmud MD pakar hukum tata negara
yang juga sebagai mantan ketua MK, mengatakan bahwa MK bukan melegalkan LGBT
dan zina, melainkan menolak memberikan perluasan tafsir ketiga pasal yang
diajukan pemohon. MK tidak memiliki
wewenang untuk membuat norma hukum yang baru.
Opini saya,
Perilaku zina dan LGBT,
jika dilihat melalui nilai Pancasila jelas sudah bertentangan terutama pada
ajaran setiap agama yang melarang keras perilaku penyimpangan seksual tersebut,
tetapi tidak serta merta putusan Mahkamah Kontitusi (MK) menolak perluasan tafsir
atas yang ada di KUHP tidak sesuai nilai Pancasila, sehingga disebut anti Pancasila.
Karena MK sebagai lembaga yudikatif tidak memiliki ranah untuk memperbolehkan
atau melarang sesuatu, tetapi semua diserahkan kepada lembaga legislatif. Pelaku
zina dan LGBT bukan berarti diperbolehka dapat dengan bebas berkeliaran, karna semua
telah diatur dalam rancangan undang –
undang yang akan diundangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar