Rabu, 27 Desember 2017

TUGAS PANCASILA



Indonesia Lawyers Club (ILC)

BENARKAH MK MELEGALKAN ZINA DAN LGBT 
 

BEREDAR isu – isu yang menuding bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan zina dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), Mahkamah Kontitusi (MK) menolak uji materi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)  mengenai kejahatan terhadap kesusilaan. Tiga pasal yang digugat adalah Pasal 284, Pasal 285, Pasal 292.

Pasal 284 tentang perzinahan, yang konteksnya dalam ikatan pernikahan dimohonkan untuk diperluas menjadi konteks di luar pernikahan. Pasal 285 tentang pemerkosaan, yang konteksnya terbatas laki-laki terhadap perempuan, ingin diperluas menjadi laki-laki terhadap laki-laki ataupun perempuan terhadap laki-laki. Pasal 292 tentang percabulan anak sesama jenis laki-laki dewasa terhadap yang belum dewasa ingin dihilangkan batasan umurnya.

Mahkamah Kontitusi banyak menuai respon dari berbagai kalangan, ada yang pro, karna MK dianggap tidak diskiriminasi terhadap kaum LGBT, tetapi juga ada yang kontra, karna MK dianggap gagal sebagai pelindung kontitusi.

Sehingga Indonesia Lawyer Club mengadakan tayangan live untuk membahas tudingan yang diterima Mahkamah Kontitusi mengenai putusan yang dikeluarkan MK, bertemakan tentang “Benarkah MK Melegalkan Zina dan LGBT?” Pada episode 19 Desember 2017, pembawa acara ILC yakni Karni ILyas mengatakan bahwa Mahkamah Kontitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang mengatur kejahatan terhadap kesusilaan bukan berarti menyetujui perbuatan zina dan LGBT.

Dari beberapa narasumber yang hadir dapat dirangkum mengenai pendapat mereka terhadap persoalan kejahatan asusila,
Menurut Prof. Euis Sunarti sebagai Pemohon Yudicial Review, menyatakan bahwa perilaku   penyimpangan seksual berada pada persentase 60% - 70 % yang terjadi di lingkungan masyarakat, kasus ini telah melenceng dari nilai keagamaan yang telah diajarkan dari orangtua bahkan sudah menjadi gaya hidup. Maka permohonan uji materi ini  diajuakan dan tidak menunda-nunda RUU KUHP. Lalu Feizal Syahmenan sebagai Koordinator tim pengacara pemohon, menyimpulkan bahwa keputusan MK terdapat kekosongan hukum, Masyarakat menjadi salah paham mengenai kepentingan – kepentingan tertentu dibalik pendapat para hakim. Dewi Inong Iriana sebagai Spesialis Kulit dan Kelamin juga mengutarakan bahwa perilaku seksual LGBT beresiko paling tinggi tertular (Infeksi Menular Seksual) IMS. Berdasarkan keadaan yang terjadi, penderita berusia kisaran 20-40 tahun dan laki-laki lebih dominan, timbul persepsi dikalangan anak muda dimana seks sesama jenis dianggap “aman” dibanding dengan lawan jenis. Melihat sandaran hukum, Ahmad yani sebagai Praktisi hukum mengemukakan bahwa dalam Konstitusi jelas dinyatakan bahwa nilai norma agama dapat dijadikan sandaran hukum. Sumber hukum di Indonesia bersumber dari hukum islam disamping perdata barat dan hukum adat. Menanggapi yang terjadi pada putusan Mahkamah Kontitusi, Mahmud MD pakar hukum tata negara yang juga sebagai mantan ketua MK, mengatakan bahwa MK bukan melegalkan LGBT dan zina, melainkan menolak memberikan perluasan tafsir ketiga pasal yang diajukan pemohon. MK tidak  memiliki wewenang untuk membuat norma hukum yang baru.

Opini saya,
Perilaku zina dan LGBT, jika dilihat melalui nilai Pancasila jelas sudah bertentangan terutama pada ajaran setiap agama yang melarang keras perilaku penyimpangan seksual tersebut, tetapi tidak serta merta putusan Mahkamah Kontitusi (MK) menolak perluasan tafsir atas yang ada di KUHP tidak sesuai nilai Pancasila, sehingga disebut anti Pancasila. Karena MK sebagai lembaga yudikatif tidak memiliki ranah untuk memperbolehkan atau melarang sesuatu, tetapi semua diserahkan kepada lembaga legislatif. Pelaku zina dan LGBT bukan berarti diperbolehka dapat dengan bebas berkeliaran, karna semua telah diatur dalam  rancangan undang – undang yang akan diundangkan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar